Subscribe:

Labels

Rabu, 03 Juli 2013

Menghadapi Ledakan Penduduk Asia Pasifik

Jakarta, KBI Gemari 
Kita masih ingat keprihatinan dunia terhadap ledakan penduduk di tahun 60 dan 70-an telah menyatukan dunia untuk mengembangkan gerakan kependudukan dan KB yang luar biasa. Indonesia sebagai bagian dari negara di wilayah Asia Pasifik di masa itu ikut prihatin dan memberikan jawaban tegas dengan komitmen tinggi melaksanakan Program Kependudukan dan KB yang gegap gempita. Minggu lalu, para Pemimpin dari wilayah Asia Pasifik kembali bertemu di Bangkok untuk membicarakan tantangan baru di bidang kependudukan yang bersama-sama akan dihadapi oleh bangsa-bangsa di
wilayah Asia Pasifik. Tantangan itu kemiskinan yang makin menghimpit, kesehatan rerproduksi yang tidak kunjung bertambah baik dan dukungan terhadap upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia berkejaran dengan tututan masa depan yang makin berat. 

Memang benar, dengan program kependudukan dan KB di masa lalu yang gegap gempita di wilayah Asia Pasifik, yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, berbagai indikator kependudukan telah bertambah baik. Tingkat pertumbuhan penduduk menurun dengan drastis. Tingkat kelahiran dan tingkat kematian menurun dengan angka-angka yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Secara hampir serempak penduduk di wilayah Asia Pasifik mempunyai kualitas yang bertambah baik dengan indikator usia harapan hidup yang bertambah panjang. 

Namun di banyak negara masih tersisa kantong-kantong besar wilayah dengan penduduk miskin yang bertambah miskin. Masih banyak keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, dan mempunyai pendapatan rata-rata kurang dari US$ 1 setiap harinya. Jumlah keluarga miskin yang semula menurun dengan menyakinkan, pada penghujung abad 20 terganggu gara-gara goncangan ekonomi yang sangat menyakitkan yang berlanjut menjadi krisis multi demensi sampai sekarang. 

Negara-negara Asia Pasifik yang semula satu demi satu mampu merencanakan dan mengolah program kependudukan dan keluarga berencananya sendiri, bukan makin yakin atas kemampuannya, tetapi makin berfikir dua kali apakah harus melanjutkan upayanya. Bantuan luar negeri yang semula gencar di awal tahun 1970-an, dan satu demi satu merangsang pengembangan program nasional dengan pembiayaan yang makin penuh oleh negara dan rakyat masing-masing, menjadi goyang dan makin tidak menentu. Karena krisis ekonomi, negara-negara yang semula menyadari manfaat program untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia, mulai ragu-ragu dan memikirkan langkah alternatip untuk tujuan serupa. 

Akibatnya, kalau komitmen tidak segera dipulihkan kembali, dan dukungan dana tidak segera diberikan kepada program yang sangat penting itu, dikawatirkan jumlah penduduk Asia Pasifik akan meledak kembali. Ledakan kedua di wilayah ini sungguh akan sangat dahsyat karena mereka yang sekarang berusia subur bukanlah berasal dari keluarga yang tingkat kesadarannya terhadap program KB sudah tinggi. Mereka adalah keluarga yang masa muda remajanya berasal dari keluarga yang belum melaksanakan program KB, mereka adalah generasi yang orang tuanya baru ikut KB setelah terlanjur mempunyai anak yang cukup banyak. 

Kita juga mencatat, bahwa semenjak krisis, upaya pemberdayaan manusia, yang harus dilakukan dengan sabar dan profesional, tidak bisa dikarbit, makin tergeser oleh keperluan-keperluan darurat yang dianggap lebih penting. Pada saat yang bersamaan negara-negara donor, yang merasa tanggung jawabnya sudah digantikan oleh masing-masing negara, secara kebetulan juga mengendorkan bantuannya. Akibatnya, secara tidak terduga, goncangan ekonomi meruntuhkan pandangan yang sangat positip terhadap manfaat program kependudukan dan KB di negara-negara Asia Pasifik itu. 

Lembaga PBB, yaitu UNFPA, yang tahun ini terkejut karena pemerintah Amerika Serikat membatalkan bantuannya sebesar US$ 34 juta, langsung mengurangi bantuannya kepada 142 negara yang biasa dibantunya. Bahkan dikabarkan tidak kurang dari 2 juta kehamilan yang tidak dikehendaki tidak bisa dicegah serta lebih dari 77.000 kematian bayi dan anak-anak tidak bisa ditolong. 

Negara-negara Asia Pasifik seperti Republik Rakyat Cina (RRC), negara terbesar di Asia Pasifik, yang selama ini mendapat bantuan dari PBB, karena tuduhan melakukan program aborsi yang memaksa, mendapat pengurangan bantuan yang sangat substansial. Padahal mungkin saja RRC telah bisa mengurangi pertumbuhan penduduknya dengan sangat bermakna, tetapi negara terbesar itu sekarang menghadapi masalah reproduksi yang sangat dilematis. Karena pengaruh kebudayaan dunia yang makin terbuka, negara ini dengan anak-anak muda dan remajanya, seperti negara-negara berkembang lainnya, menghadapi serangan virus HIV/AIDS yang sangat dahsyat. 

Begitu juga India, negara terbesar kedua di Asia Pasifik, mereka tidak saja masih menghadapi masalah reproduksi dasar berupa pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, tetapi juga harus berjuang keras menghadapi serangan virus HIV yang ganas. Indonesia, negara terbesar ketiga di Asia Pasifik, tidak terkecuali, seperti negara lainnya, biarpun relatif lamban, serangan virus HIV di Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja. 

Kalau bantuan PBB tidak dapat diharapkan lagi, begitu juga bantuan dari Amerika yang pada awal tahun 1970-an bisa mengalir dengan lancar dan memenuhi hampir seluruh kebutuhan kontrasepsi di hampir semua negara Asia, tidak lagi tertarik kepada negara-negara Asia yang dianggap berhasil menggerakkan KB mandiri yang bergengsi. 

Oleh karena itu, para pemimpin Asia Pasifik yang berkumpul di Bangkok minggu lalu, berjuang keras menghadapi mengendornya komitmen yang diiringi dengan suasana globalisasi yang makin terbuka dan penuh persaingan. Mereka harus membuka diri dengan kemungkinan serbuan tenaga kerja asing dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang relatif murah. Karena itu upaya pemberdayaan sumber daya manusia harus bisa menghasilkan tenaga yang sanggup bersaing memperebutkan kesempatan yang terbatas. Sumber-sumber dana untuk pendidikan yang relatif langka harus diperebutkan untuk menjamin program berkelanjutan. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, akan berakibat fatal. Penduduk Asia Pasifik yang sudah terlanjur besar jumlahnya, akan meledak dengan dahsyat dan akan memperberat proses globalisasi yang sangat berat. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Pengantar-PendudukAsiaPasifik-16122002()


0 komentar:

Posting Komentar